Ilustrasi: siswa belajar di ruang kelas.
Presiden Asosiasi Guru Matematika Indonesia (AGMI) Drs. Firman Syah Noor, M.Pd menilai, kurikulum pendidikan nasional saat ini tidak menyentuh kebutuhan pengembangan kemampuan belajar anak didik secara komprehensif. Dalam bidang matematika misalnya, kurikulum diarahkan pada pendidikan prosedural, bukan pendidikan bernalar yang melatih siswa memetakan dan memecahkan masalah.
Belum lagi keberadaan ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan siswa, makin menguatkan pendidikan prosedural tersebut. Firman menjelaskan, jika UN masih ada, maka para guru akan terus mengacu pada pendidikan prosedural, bukan meningkatkan kemampuan bernalar siswa.
"Akibatnya, pola pendidikan matematika bernalar yang melatih siswa dalam memetakan dan memecahkan masalah tidak akan membuat siswa tertarik, karena orientasi mereka pada nilai UN dan kelulusan," ujar Firman ketika dihubungi Okezone, Selasa (8/1/2013).
Firman juga melihat, belum ada perubahan signifikan dan substantif dalam rancangan Kurikulum 2013 yang akan diterapkan pemerintah Juni mendatang. Perubahan, imbuhnya, sebatas masalah penilaian.
Menurut pengajar pascasarjana Pendidikan Matematika di Universitas Pasundan (Unpas), Bandung, itu, banyak kompetensi dasar matematika yang tidak jelas dan kurang terukur. Dia mencontohkan, kurikulum pendidikan matematika di Indonesia hanya mencantumkan kompetensi dasar secara umum, misalnya siswa dapat menentukan akar-akar persamaan kuadrat. Sementara itu, kurikulum internasional, salah satunya Cambridge, merinci dengan jelas kompetensi tersebut menjadi apakah persamaan kuadrat, apakah akar persamaan kuadrat, dst.
"Selain itu, indikator materi pelajaran di Indonesia juga belum komprehensif. Misalnya, dalam satu bab pelajaran ada 17 unsur yang perlu dikuasai siswa. Di Indonesia, hanya 12 unsur utama yang dimasukkan ke dalam kurikulum," imbuhnya.
Perubahan substansi kurikulum secara signifikan pun mutlak diperlukan. Menurut pria yang juga mengajar di SMAN 3 Bandung ini, jika UN dijadikan acuan para guru dalam menentukan pola pembelajaran, maka evaluasi UN harus dilakukan komprehensif. Dia mengkritik, analisis yang dilakukannya terhadap soal-soal UN menunjukkan bahwa instrumen soal UN kurang baik bagi penalaran siswa.
Firman mengilustrasikan, misalnya satu soal berbunyi, "Seorang penjahit dalam satu hari bisa membuat 15 pakaian. Dalam dua hari dia menjahit 30 pakaian. Berapa pakaian dapat dia buat dalam sepuluh hari?"
Contoh soal ini, ujar Firman, kurang baik karena tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, tidak mungkin, seseorang bekerja dengan hasil yang selalu tetap setiap hari. Kecuali jika bunyi soalnya 'diasumsikan,'" ujar Firman.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada pemeringkatan Programme for International Student Assessment (PISA) terakhir, kemampuan literasi matematika siswa Indonesia sangat rendah. Indonesia menempati peringkat ke-61 dari 65 negara peserta pemeringkatan.
Peringkat Indonesia ini kalah jauh dari Thailand yang menempati posisi ke-50 dalam indeks literasi matematika. Sedangkan urutan terakhir ditempati oleh Kyrgizstan.
No Responses to "Indeks Matematika RI Terendah, Substansi Kurikulum Perlu Diubah"